Selasa, 02 April 2013

A T U F; Pahlawan Orang TANIMBAR


 
Legenda tentang kepahlawanan Atuf di Tanimbar pada zamannya sangat populer. Zaman berganti zaman, kini legenda itu mulai terlupakan. Demikian pula dengan legenda-legenda Tanimbar lainnya, sudah tidak lagi dituturkan oleh orang tua kepada anaknya. 

Setelah membolak-balik sejumlah buku yang masih disimpan rapih oleh Ayah saya; maka saya berniat untuk menulis kembali beberapa legenda yang populer dalam kehidupan orang Tanimbar. Dan, saya mengawalinya Legenda tentang Atuf.  Lengenda yang mana menurut saya menempati tangga teratas dalam deretan Legenda orang Tanimbar.  Selamat membaca.


Atuf Dan Famili Tiba  Di Yamdena

Di Babar tinggalah Atuf, keluarganya dan budak-budak mereka. Saudara Atuf antara lain: Inkelu, Yaum Aratwenan dan Mangmwatabun.
Keluarga Atuf adalah Bangsawan tinggi; bahkan begitu tingginya sehingga mereka tidak bekerja, tidak berkebun, tidak mengambil air dan lain sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan oleh masyarakat untuk mereka. Hal inilah yang mengakibatkan mereka (Atuf dan Keluarganya) bertentangan  dengan masyarakat, dan akhirnya mereka meninggalkan Babar menuju Tanimbar.  

Dengan perahu mereka menuju ke kepulauan Tanimbar.  Mereka kemudian tiba di Pulau Selaru dan tinggalah (ketinggalan)  salah satu saudara Atuf, yakni Mangmwatabun. Dari Selaru mereka kemudian ke Pulau Yamdena. Saudara perempuan Atuf; Inkelu, kemudian ditinggalkan bersama seekor Ayam Jatan yang bernama Wol Mkaa (bahasa Fordata: dia tidak tahu) di Asutubun (Tanjung Anjing) sebelah Selatan Olilit.

Atuf dan Yaum Aratwenan kemudian berlayar menuju Sifnane (Sifnana), dan mereka diterima oleh tiga orang bersaudara:  Afun Andityaman, Metanoli Abwaraman dan Metyamren Mbamrenaman (Rumah Reresi-Aswembun).   


Atuf Menikam Matahari

Pada zaman itu langit masih rendah. Karena sedemikian rendahnya sehingga matahari terbit di kaki langit sebelah Timur, namun kadang hanya menetap di kaki langit (tidak bergeser ke arah Barat). Kadang pula Matahari tak dapat terbit, sehingga malam hari lebih lama. Ukuran Mataharipun lebih besar dari sekarang dan bintang-bintang belum ada.
Melihat situasi demikian, Atuf kemudian mempunyai rencana  untuk membuat keadaan lebih nyaman, dengan cara  menikam Matahari sehingga berkeping-keping.
Keluarganya di Sifnane kemudian pergi ke Latdwalam untuk membeli Tombak Ajaib. Setelah mendapat Tombak Ajaib tersebut, Atuf   bersama budak-budaknya dengan perahu bernama Selolone; menuju ke sebelah Timur. Di tengah lautan mereka mendapatkan seorang nenek di atas gosong. Nenek tersebut memberikan nasehat kepada mereka agar mereka tidak pergi ke darat di Tanjun Lamdesar (Lamdesar Tubun), karena Pemali.  

Mereka kemudia berlayar terus sehingga semakin dekat dengan Matahari. Untuk mencegah rasa panas, maka Atuf telah menyiapkan minyak kelapa dalam sebuah pingan besar. Untuk bisa dekat dengan Matahari, Atuf membawa sebilah papan lebar untuk menyembunyikan dirinya (sebagai Tameng), dan bagian tertentu dia membuat lubang untuk meletakkan Tombaknya.

Ketika cukup dekat dengan Matahari, Atuf kemudian menikam Matahari hingga tembus. Matahari kemudian terbelah menjadi dua bagian besar; bagian yang satu tetap menjadi Matahari, dan bagian yang lainnya jatuh ke laut dan menjadi Bulan. Kemudian potongan-potongan  kecil lainnya (Serpihan) yang tak terbilan banyaknya itu, beterbangan ke udara dan kemudian menjadi Bintang.

Sementara itu, Tombak yang digunakan untuk menikan Matari tetap tertancap di badan Matahari. Atuf kemudian berlayar mengejar Matahari  dari belakang, hingga Matahari melepaskan Tombanya di sebuah pantai di daratan  Kei. Darah Mataharipun   menetes di pantai, dan pantai itu kemudian (hingga sekarang) diberi nama Laran Lere Daran;  atau dalam Bahasa Kei  Nguur Ler Laran  (Pantai Darah Matahari).  Atuf kemudian meninggalkan satu orang budaknya; Ditsamar Aresyenan di situ dan mempercayakan (memberikan) Tombak itu kepadanya.  Katanya “Peliharalah baik Tombak ini; lima hari lagi saya datang mengambil engkau”. Tempat itu hingga sekarang terletak di Kampung Ler Ohoi Lim (Ler=Matahari; Ohoi=Desa; Lim=lima ) di Pulau Yut Kei Besar.

Ketika Atuf kembali, ia bersandar di Tanjung Lamdesar. Kepada budak-budaknya ia berkata “tunggulah saya di sini. Saya hendak membuang air sebentar”. Atuf kemudian pergi ke daratan dan duduk (jongkok) untuk membuar air. Namun kemudian dia tak dapat berdiri dan pergi dari tempat itu; dia telah melekat dengan batu-batu di tempat itu. Atuf kemudian memanggil budaknya bernama Laksusu dan menyuruhnya membawa Tas Sirihnya. Budak itu kemudian membawa Tas Sirih tersebut kepada Atuf, namun ketika Atuf memegang ujung tas yang satunya, budak itu tak dapat melepaskan ujung  lain yang dipegangnya. Lalu Atuf berseru kepada budak-budak lain di atas perahu agar segera pulang. Atuf menyuruh mereka agar terus berlayar    dan jangan bersandar dimana-mana sampai tiba di Nam Ratu  (suatu alur perpelayaran di depan Sifnane). 
Budak-budak itupun mengikuti perintah Atuf dan akhirnya mereka tiba di Sifnane. Setibanya di Sifnane, mereka memotong layar  besar;  sekarang menjadi  Temyatan Silai (tempat jangkar besar), dan mereka juga memotong layar kecil; sekarang menjadi  Temyatan Marumat (tempat jangkar kecil). 

Setelah melakukan semua perintah Atuf, para budak itu kemudian melompat dari atas perahu (ke daratan). Beberapa dari mereka (berubah) menjadi Tupai, beberapa menjadi Luak-Luak dan yan lainnya menjadi Biawak. Perahu itu kemudian menjadi Nus Kese (sebuah pulau kecil di depan Sifnana-Bomaki-Ukur Laran). Pingan Besar tempat mengisi minyak kelapa menjadi batu (disekitar tempat itu) dan  Jangkar dan Batu Jangkar  menjadi Nus Momolin (Pulau Pemali). 

Di Olilit, cerita ini diceritakan sebagai berikut:……………… ( bersambung )


Tanimbar;  April 2013
Ametelling
Sumber:  Drabe P. MSC;  Etnografi Tanimbar, 1989.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar