( oleh: Ken Ametelling )
Kata “Tanimbar” biasanya digunakan untuk menunjuk orang/suku/komunitas manusia yang berdiam Kepulauan Tanimbar. Kata yang sama juga biasanya digunakan untuk menunjuk pulau-pulau di wilayah Tanimbar ( baik pulau besar maupun kecil; dihuni ataupun tidak ), pulau-pulau seperti Fordata, Larat, Labobar, Molu, Maru, Nus Wotar, Selu, Wuliaru, Sera, Selaru, dan Pulau Yamdena (gugus pulau Tanimbar).
- Gugus pulau Tanimbar terletak di bagian tenggara Kepulauan Maluku. Kepulauan Tanimbar berada di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) Provinsi Maluku. Penduduk yang menghuninya, adalah Suku Tanimbar. Dalam konteks ini, ada pendapat yang menghendaki adanya perubahan nama Kabupaten MTB, menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Karena seluruh pulau di Kabupaten ini masuk dalam gugus pulau Tanimbar.
Arti Kata “Tanimbar”
Kata Tanimbar berasal dari kata bahasa daerah di Tanimbar: antara lain: Tanempar, dalam Bahasa Yamdena Timur (Nustimur) atau Tnebar dalam bahasa fordata, yang artinya “Terdampar”. Tentu ada alasan sehingga kata Tanimbar kemudian menjadi sapaan akrab kepada orang-orang/suku dan pulau-pulau di wilayah pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat ini.
Tiba Kepulauan Tanimbar
Menurut cerita/penuturan dari generasi ke generasi, dahulu kala Kepulauan Tanimbar tidak berpenghuni ( manusia ). Entah kapan, abad berapa persisnya Orang Tanimbar mendiami pulau-pulau di Tanimbar; Siapa, Marga atau kelompok mana; ataukah yang lebih dahulu tiba; dan tiba dari mana, tidak diketahui persis.
Tentang orang-orang/Suku dan Kepulauan Tanimbar juga tidak ditemui dalam literature resmi berbahasa Indonesia. Kalaupun ada, maka hanya berupa catatan lepas dari mereka yang sempat mengunjungi Tanimbar. Dokumentasi ( foto / video ) pun sulit ditemui. Mungkin saja karena Tanimbar terlalu amat kecil dalam Peta NKRI. Atau tidak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan; atau karena tidak memiliki sumber daya yang patut dibanggakan dan dieksploitasi oleh Negara.
Ketidakjelasan ini kerapkali memicu perdebatan panjang (dan menjengkelkan). Perdebatan soal siapa/kelompok masyarakat mana, yang lebih awal tiba di Kepulauan Tanimbar. Tema perebatan yang sama terjadi pula pada hampir semua Kampung/Desa-Desa di Tanimbar.
- Menjadi perdebatan, karena hal ini terkait erat dengan kepemilikan tanah/lahan/petuanan/hak ulayat. Hal ini pula yang menjadi pokok utama pertikaian, peperangan dan pertumpahan darah dari generasi ke generasi. Bahkan hingga saat ini (Thn.2011).
Asal usul Orang Tanimbar
Banyak cerita tentang asal-usul Orang Tanimbar. Setiap keluarga, marga atau kelompok masyarakat tertentu, memiliki cerita sendiri-sendiri tentang asal usulnya. Ada cerita yang mempunyai kemiripan dengan yang lain, namun ada juga yang bertolak belakang. Namun demikian, menurut cerita pada umumnya ( anggap saja dongeng ), dahulu kala Orang Tanimbar berasal dari wilayah tertentu di belahan bumi tertentu. Oleh karena satu dan lain hal ( alasan peperangan, bencana alam, dll), kemudian mereka mencari wilayah baru. Dan dari perjalanan pelayaran yang panjang, akhirnya mereka tiba ( Terdampar = Tanempar/Tnebar ) di Kepulauan Tanimbar.
Ada pendapat lain tentang asal-usul orang/suku Tanimbar. Yaitu bahwa orang Tanimbar berasal dari suku-suku seperti Buton, Bugis; dan suku-suku di Maluku, seperti Halmahera, Seram, Lease dan sebagainya ( kecuali wilayah bagian tenggara ). Menurut saya, dari mana saja asalnya; yang pasti bukan seperti yang disebutkan diatas. Kalaupun ada, maka itu sebatas hubungan perdagang (barter). Kenapa, terdapat perbedaan menyolok dalam aspec budaya dan atau adat istiadat serta unsur-unsur budaya lain seperti bahasa, busana dll.
Hidup bebas, merdeka dan damai
Orang Tanimbar sejak dahulu hidup bebas dan merdeka. Setiap orang / keluarga hidup dan berkuasa atas kehidupanya. Mereka tidak dikuasai, tidak diatur ataupun tidak berada dalam suatu system/tatanan otoritas tertentu yang berimplikasi bagi tersusunnya kelas-kelas social maupun stratifikasi social. Setiap individu menjadi tuan sekaligus hamba bagi dirinya sendiri.
Orang/suku Tanimbar sejak dahulu hidup damai. Kenapa; pertama, mereka tidak dikuasai oleh atau dibawah aturan orang/kelompok lain. Mereka hidup di dalam keteraturan adat-istiadat; dan hidup untuk mempertahankan adat-istiadatnya. Kedua, Orang Tanimbar, walaupun hidup dalam berbagai perbedaan ( teristimewa kampung/desa, pulau dan bahasa ) namun diikat dan tunduk pada satu hukum adat; yaitu “Duan Lolat”
Hidup dalam kedamaian, bukan berarti jauh dari kekerasan dan pertikaian. Hal terjadinya kekerasan, pertikaian, peperangan dan kekacauan lain, biasanya terjadi bilamana telah terjadi pelanggaran, baik oleh individu atau kelompok masyarakat terhadap aturan-aturan adat. Hal ini biasanya menjadi pemicu terjadinya kekerasan dan kekacauan. Pelanggaran terhadap aturan adat biasanya melahirkan kebencian dan dendam mendalam. Kebencian dan dendam bahkan menjadi warisan turun temurun.
Duan Lolat sebagai pandangan hidup dan hukum tertinggi
Setiap individu Tanimbar hidup dalam keteraturan budaya/adat istiadat setempat. Hukum Adat “Duan Lolat” menjadi pandangan hidup sekaligus menjadi hukum tertinggi bagi Orang Tanimbar (pra NKRI).
- Ketika konsep ini dipandang kasat mata, maka arti Duan Lolat menjadi: Duan = Tuan dan Lolat = Hamba. Kalau demikian maksudnya, maka tentu ada kelas-kelas social ( Stratifikasi Sosial ) dalam hidup masyarakat Tanimbar. Dan artinya Orang Tanimbar tidak bebas dan merdeka.
- Arti/makna sesungguhnya tidak demikian. Duan artinya pemberi anak perempuan dan Lolat artinya penerima anak perempuan. Hukum Duan Lolat sesungguhnya menyangkut ”siapa memberikan apa, dan siapa menerima apa” karena posisinya sebagai Duan atau Lolat. Hal ini soal peran dan tanggungjawab, karena hubungan perkawinan.
Dalam bingkai hukum adat Duan Lolat, hak dan kewajiban duan dan lolat diatur. Dalam bingkai ini pula, kehidupan antar sesama; relasi antar individu dengan individu, individu dengan alam; system pemerintahan, perkawinan, pengelolan sumber daya alam; larangan, pelanggaran, sangsi dan denda; serta relasi dengan Sang Duan Agung (Tuhan), diatur. Sayangnya, hukum ini tidak tertulis. Sejauh ini dalam perjalanan panjang otonomisasi, hal ini juga tidak diupayakan. Padahal semua pihak tahu, bahwa hukum tidak tertulis ini akan dari zaman ke zaman telah mengalami
Setiap anak Tanimbar lahir, dibesarkan, dewasa dan kemudian meninggal, diikat erat dengan keteraturan adat istiadat/hukum adat Duan Lolat. Tak heran, bila urusan adat kerap kali menjadi hal yang paling penting, prinsipil dan prioritas. Adat istiadat menjadi begitu istimewa bagi Orang Tanimbar karena menyangkut martabat seseorang / keluarga / marga / kelompoknya.
Sekedar refleksi
Ketika membaca beberapa literature tulisan orang lain (bukan Orang Tanimbar) dan kemudian membandingkannya dengan realita dewasa ini, ternyata Tanimbar mulai menjauh nilai-nilai yang dibanggakan itu.
Desakan globalisasi yang tak terelakan itu, semakin cepat menggeserkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang berabad-abad dijaga kesakralannya. Banyak pergeseran telah terjadi dan akan terus terjadi. Sementara itu, upaya untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai sacral ini belum dilakukan secara sistematis (mungkin juga belum sempat terpikirkan).
Pemerintah daerah yang paling besar peran dan kewenanganya itu, tak mampu berbuat banyak. Justeru sebaliknya, pada aspec tertentu, menggeserkan dan melemahkan nilai-nilai tersebut. Wakil rakyat (DPRD) pun, sepertinya tak sudi berpikir apalagi bertindak bagi keselamatan nilai-nilai sacral itu. Singkatnya, kebijakan public sejauh ini tidak berpihak bagi pelestarian nilai-nilai budaya dan adat istiadat Tanimbar. Celakanya, pada saat yang sama Tokoh masyarakat, Pemuda, bahkan Tokoh Adat, kehilangan energy.
Banyak jiwa yang tetap berharap, nilai-nilai budaya dan adat istiadat Tanimbar tetap lestari dan menjadi icon daerah ini. Semoga saja, harapan ini direstui oleh para leluhur dan dikabulkan oleh Tuhan; Sang Duan Agung.
Tanimbar, Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar