EKPLOITASI HUTAN DI PULAU YAMDENA KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT; Suatu Kebijakan Yang Prematur
Pertama, Peristiwa pembalakan hutan secara besar-besaran oleh masyarakat Yamdena patut disesalkan. Masyarakat Adat di Pulau Yamdenapun menyadari akan kekeliruannya dalam hal pengelolaan Hutan Adat / Petuanan Adatnya. Namun apakah dengan mengundang Perusahan HPH adalah suatu alternatif solusi yang tepat untuk menekan lajunya kerusakan hutan ataupun adalah tindakan yang tepat untuk menghentikan pembalakan liar..? Apakah upaya yang telah diklakukan Pemda lewat Dinas-Badan terkait sudah maksimal..? Apakah sudah dicari alternatif solusi terhadap sistem pertanian masyarakat (ladang berpindah)..? Apakah dengan kebijakan penertiban alat Senso, memperketat proses adminitrasi dan perizinan, dan Swiping Kayu di Pos-Pos Kehutanan, sudah merupakan upaya yang maksimal untuk menekan dan menghentikan pembalakan liar itu..? Apakah sudah dibuat regulasi untuk mengendalikan dan mecegah aktivitas yang berdampak bagi pengrusakan hutan..?
Ataukah sebaliknya, semua itu hanya merupakan trick untuk memuluskan masuknya Perusahan HPH di Yamdena..?
Kedua, melirik kembali ke belakang, ternyata hadirnya Perusahan HPH di era thn.90-an sama sekali tidak membantu masyarakat untuk keluar dari persoalan ekonominya. Janji-janji manis Perusahan tak satupun terpenuhi sampai mereka (perusahan HPH) angkat kaki. Realitas itu bisa kita saksikan dengan menelusuri lebih jauh kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Desa Bomaki, salah satu Desa yang dahulu menjadi Bese Camp Perusahan HPH.
Apalah artinya peningkatan yang luar biasa terhadap PAD dan ekonomi kerakyatan, bila ancaman ekologi yang ditimbulkan di kemudian hari jauh lebih besar dan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat di Pulau Yamdena..?
Apalah artinya peningkatan yang luar biasa terhadap PAD dan ekonomi kerakyatan, bila kebijakan ini dikemudian hari akan menimbulkan masalah sosial, kemasyarakatan, budaya, lingkungan hidup dan ketertiban-keamanan ketika diimplementasikan..?
Bukankah kita akan membutuhkan dana yang jauh lebih besar untuk melakukan pemulihan-pemulihan apabila terjadi kerusakan ekologi, bencana alam maupun bencana sosial sebagai dampak eksploitasi Hutan Yamdena ..?
Dan apakah sebanyak 20% (Keterangan Bupati MTB dalam pertemuan dengan Tokoh Adat, Agama, OKP dan Pejabat Pemkab.MTB) dari keuntungan bagi/menjadi hak Desa, adilkah itu ?
Dengan maksud apapun, mengundang hadirnya HPH sebagai alternatif solusi terhadap pencegahan pembalakan/penebangan liar, kerusakan hutan, bahkan demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah kebijakan yang keliru, dan tak dapat diterima..!
Kebijakan Pemkab.MTB dan Pemprov.Maluku memberikan Rekomendasi (izin prinsip) bagi PT. Karya Jaya Berdikari untuk mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu (IUPHK) dari Menteri Kehutanan RI adalah suatu kebijakan yang ‘Prematur”; sangat tergesa-gesa, tanpa pikir panjang, putus asa dan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat. Kebijakan ini hanya akan menghasilkan embrio KONFLIK di semua level sosial.
Kenapa..? Kebijakan ini di kemudian hari hanya akan memicu konfik (horisontal) antar masyarakat adat, dan bahkan lebih tragis dari itu, konflik (vertikal) antara Masyarakat Adat dengan Negara. Singkatnya, ruang konflik sangat terbuka lebar. Itukah yang diinginkan oleh Negara teristimewa Pemerintah Kabupaten MTB ? Elemen-elemen Masyarakat di Kabupaten MTB telah melakukan Protes terhadap kebijakan prematur ini. Mulai dari Masyarakat dan Lembaga Adat, ORMAS, OKP, Lembaga-Lembaga Sosial Kemasyarakatan hingga Lembaga-Lembaga Agama (MUI, Keuskupan Wilayah & Klasis Koordinator di Kab.MTB). Alhasil, Pemerintah Daerah tak bergeming sedikitpun dan tetap mempertahankan kebijakannya. Sementara itu, Lembaga DPRD hanya dapat berkoar-koar dengan ancaman Interpelasinya.
Apa yang di dapat oleh Masyarakat Yamdena, lebih khusus Masyarakat Adat yang Petuanannya menjadi areal penebangan ? Yang pasti mereka akan “dapat tipu”. Dan kini mereka, masyarakat Pulau Yamdena secara khusus dan masyarakat Tanimbar Kabupaten MTB, tak mau tertipu lagi.
“ PROTES ” telah dilayangkan. Tapi apa mau dikata..! Yang pasti, hanya ada satu kata, “ TOLAK ”. Konsekwensi dari sebuah aksi penolakan adalah “LAWAN”, dan konsekwensi dari sebuah perlawanan adalah “…….. “ ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar