Rabu, 21 Desember 2011

Selat Tdjasi Kembali Telan Korban; KM. Haccu Tenggelam

Tdjasi oleh para Pelaut dikenal sebagai Teluk/Tanjung yang ganas. Keganasannya tak mengenal musim. Walaupun begitu ganasnya Selat/Tanjung Tdjasi, namun tak ada pilihan lain bagi para Nahkoda ketika hendak ke Pulau Seira atau Pulau lain di bagian barat Pulau Yamdena. 



Kencangnya angin dan derasnya hujan, tak melumerkan nyali Nahkoda & ABK, serta Penumpang yang hendak melaut. Rabu, 21 Desember 2011;  kurang lebih Pkl. 06.00 WIT, KM. Haccu bertolak dari Dermaga Saumlaki menuju ke Pulau Seira. KM. Haccu berbadan kayu; berukuran 20,8.m x 4,25.m (panjang x lebar); G.T.33. Ditumpangi oleh kurang lebih 145 orang penumpang termasuk anak buah kapal, menuju Pulau Seira Kecamatan Wermaktian.

Sekitar Pkl.10.00 WIT, KM. Haccu tenggelam, setelah lebih dahulu bergulat dengan angin dan badai. Setiap penumpang mencari jalan selamat sendiri-sendiri; Berenang menantang badai menuju Desa Latdalam, Desa yang paling dekat dengan lokasi tenggelamnya KM.Haccu.  Lima orang dikabarkan meninggal. Sementara KM.Haccu karam dan tidak / belum ditemukan bangkainya.

Menurut informasi tidak resmi, tenggelamnya KM.Haccu disebabkan oleh buruknya cuaca (hujan, angin & ombak) dan muatan yang telah melebihi kapasitas.  Alasan ini paling sering digunakan untuk menjustifikasi ataupun untuk menerangkan sebab terjadi sebuah kecelakaan laut selama ini.

Siapa yang bertanggungjawab atas tragedy ini ? Nahkodalah  yang akan menjadi sasaran bidik. Padahal pihak-pihak  yang berkewenangan di wilayah pelabuhan, mesti  ikut bertanggungjawab atas tragedy ini. Pendapatku, Syahbandar Pelabuhan Saumlaki mesti bertanggungjawab atas tragedy  ini;  Kalau cuaca buruk, kenapa tidak mengeluarkan larangan melaut ?    Kalau muatan melebihi kapasitas muat, kenapa dibiarkan melaut ?  

Senin, 12 Desember 2011

TANIMBAR; Orang/Suku dan Kepulauan Tanimbar


( oleh: Ken Ametelling )

Kata “Tanimbarbiasanya digunakan untuk menunjuk  orang/suku/komunitas manusia yang berdiam Kepulauan  Tanimbar. Kata yang sama juga biasanya digunakan untuk menunjuk pulau-pulau di wilayah Tanimbar ( baik pulau besar maupun kecil; dihuni ataupun tidak ), pulau-pulau seperti  Fordata, Larat, Labobar, Molu, Maru, Nus Wotar, Selu, Wuliaru, Sera, Selaru, dan Pulau  Yamdena (gugus pulau Tanimbar).
  • Gugus pulau Tanimbar terletak di bagian tenggara Kepulauan Maluku.  Kepulauan Tanimbar berada di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) Provinsi Maluku. Penduduk yang menghuninya, adalah Suku Tanimbar. Dalam konteks ini, ada pendapat yang menghendaki adanya perubahan nama  Kabupaten  MTB, menjadi  Kabupaten  Kepulauan  Tanimbar.  Karena seluruh pulau di Kabupaten ini masuk  dalam  gugus pulau Tanimbar.  

Arti Kata “Tanimbar”
Kata Tanimbar berasal dari kata bahasa daerah di Tanimbar:  antara lain:  Tanempar, dalam Bahasa Yamdena Timur (Nustimur) atau Tnebar  dalam bahasa fordata, yang artinya “Terdampar”.  Tentu ada alasan sehingga kata Tanimbar kemudian menjadi sapaan akrab kepada orang-orang/suku dan pulau-pulau di wilayah pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat ini.

Tiba Kepulauan Tanimbar    
Menurut cerita/penuturan dari generasi ke generasi, dahulu kala Kepulauan Tanimbar tidak berpenghuni ( manusia ).  Entah kapan,  abad berapa persisnya Orang Tanimbar  mendiami pulau-pulau di Tanimbar;  Siapa, Marga atau kelompok mana;  ataukah  yang lebih dahulu tiba;  dan tiba dari mana,  tidak diketahui persis.
Tentang orang-orang/Suku dan Kepulauan Tanimbar juga tidak ditemui dalam literature resmi berbahasa Indonesia. Kalaupun ada, maka hanya berupa catatan lepas dari mereka yang sempat mengunjungi Tanimbar. Dokumentasi  ( foto  / video ) pun sulit ditemui.  Mungkin saja karena Tanimbar terlalu amat kecil dalam Peta NKRI.  Atau  tidak  berjasa    dalam perjuangan kemerdekaan;  atau karena tidak memiliki sumber daya yang patut dibanggakan dan dieksploitasi   oleh Negara.
Ketidakjelasan ini kerapkali memicu perdebatan panjang (dan menjengkelkan). Perdebatan soal siapa/kelompok masyarakat mana, yang lebih awal tiba di Kepulauan Tanimbar.  Tema perebatan yang sama terjadi pula pada hampir semua Kampung/Desa-Desa di Tanimbar.
  • Menjadi perdebatan, karena hal ini terkait erat dengan kepemilikan tanah/lahan/petuanan/hak ulayat. Hal ini pula yang menjadi pokok utama pertikaian, peperangan dan pertumpahan darah dari generasi ke generasi. Bahkan hingga saat ini (Thn.2011).

Asal usul Orang Tanimbar
Banyak cerita tentang asal-usul Orang Tanimbar. Setiap keluarga, marga atau kelompok  masyarakat tertentu, memiliki cerita sendiri-sendiri tentang asal usulnya. Ada cerita  yang mempunyai kemiripan dengan yang lain, namun ada juga yang bertolak belakang.  Namun demikian, menurut cerita pada umumnya ( anggap saja dongeng ), dahulu kala Orang Tanimbar berasal dari wilayah tertentu di belahan bumi tertentu.  Oleh karena satu dan lain hal ( alasan peperangan, bencana alam, dll), kemudian mereka mencari wilayah baru.  Dan           dari perjalanan pelayaran yang panjang, akhirnya mereka tiba ( Terdampar = Tanempar/Tnebar ) di Kepulauan Tanimbar.
Ada pendapat lain tentang asal-usul orang/suku Tanimbar. Yaitu bahwa orang Tanimbar berasal dari suku-suku seperti Buton, Bugis; dan suku-suku di Maluku, seperti Halmahera, Seram, Lease dan sebagainya ( kecuali wilayah bagian tenggara ).  Menurut saya, dari mana saja asalnya; yang pasti bukan seperti  yang disebutkan diatas. Kalaupun ada, maka itu sebatas hubungan perdagang (barter).  Kenapa, terdapat perbedaan menyolok dalam aspec budaya dan atau adat istiadat serta  unsur-unsur budaya lain seperti bahasa, busana dll.

Hidup bebas, merdeka dan damai
Orang Tanimbar sejak dahulu hidup bebas dan merdeka. Setiap orang / keluarga hidup dan berkuasa atas kehidupanya. Mereka tidak dikuasai, tidak diatur ataupun tidak berada dalam suatu system/tatanan  otoritas tertentu yang berimplikasi bagi tersusunnya kelas-kelas social maupun stratifikasi social.  Setiap individu menjadi tuan sekaligus hamba bagi dirinya sendiri.
Orang/suku Tanimbar sejak dahulu hidup damai. Kenapa; pertama, mereka tidak dikuasai oleh atau dibawah aturan orang/kelompok lain. Mereka hidup di dalam keteraturan adat-istiadat; dan hidup untuk mempertahankan adat-istiadatnya.   Kedua, Orang Tanimbar, walaupun hidup dalam berbagai perbedaan      ( teristimewa kampung/desa, pulau dan bahasa )  namun diikat dan tunduk pada satu hukum adat;  yaitu  “Duan Lolat”
Hidup dalam kedamaian, bukan berarti jauh dari kekerasan dan pertikaian. Hal terjadinya kekerasan, pertikaian, peperangan dan kekacauan lain, biasanya terjadi bilamana telah terjadi pelanggaran, baik oleh individu atau kelompok masyarakat terhadap aturan-aturan adat. Hal ini biasanya menjadi pemicu terjadinya kekerasan dan kekacauan.  Pelanggaran terhadap aturan adat biasanya melahirkan kebencian dan dendam mendalam. Kebencian dan dendam bahkan menjadi warisan  turun temurun.

Duan Lolat sebagai pandangan hidup dan hukum tertinggi
Setiap individu Tanimbar hidup dalam keteraturan budaya/adat istiadat setempat. Hukum Adat “Duan Lolat” menjadi pandangan hidup sekaligus menjadi hukum tertinggi bagi Orang Tanimbar (pra NKRI).
  • Ketika konsep ini dipandang kasat mata, maka arti Duan Lolat menjadi:  Duan = Tuan  dan Lolat = Hamba. Kalau demikian maksudnya, maka tentu ada kelas-kelas social ( Stratifikasi Sosial ) dalam hidup  masyarakat Tanimbar. Dan artinya Orang Tanimbar tidak bebas           dan merdeka. 
  • Arti/makna sesungguhnya tidak demikian.  Duan  artinya  pemberi anak perempuan  dan  Lolat  artinya penerima anak perempuan. Hukum Duan Lolat sesungguhnya menyangkut ”siapa memberikan apa,  dan  siapa menerima apa” karena posisinya sebagai Duan atau Lolat. Hal ini soal peran dan tanggungjawab, karena hubungan perkawinan.    

Dalam bingkai hukum adat Duan Lolat, hak dan kewajiban duan dan lolat  diatur.  Dalam bingkai ini pula, kehidupan antar sesama; relasi antar individu dengan individu, individu dengan alam; system pemerintahan, perkawinan, pengelolan sumber daya alam; larangan, pelanggaran, sangsi dan denda; serta relasi dengan Sang Duan Agung (Tuhan), diatur.  Sayangnya, hukum ini tidak tertulis. Sejauh ini dalam perjalanan panjang otonomisasi, hal ini juga tidak diupayakan. Padahal semua pihak tahu, bahwa hukum tidak tertulis ini akan dari zaman ke zaman telah mengalami
Setiap anak Tanimbar lahir, dibesarkan, dewasa dan kemudian meninggal,  diikat erat dengan keteraturan adat istiadat/hukum adat Duan Lolat.  Tak heran, bila urusan adat kerap kali menjadi hal yang paling penting, prinsipil dan prioritas.  Adat istiadat menjadi begitu istimewa bagi Orang Tanimbar karena menyangkut martabat seseorang / keluarga / marga / kelompoknya.

Sekedar refleksi
Ketika membaca beberapa literature tulisan orang lain (bukan Orang Tanimbar) dan kemudian membandingkannya dengan realita dewasa ini, ternyata Tanimbar mulai menjauh nilai-nilai yang     dibanggakan itu.
Desakan globalisasi yang tak terelakan itu, semakin cepat menggeserkan nilai-nilai budaya dan  adat istiadat yang berabad-abad dijaga kesakralannya.  Banyak pergeseran telah terjadi dan akan terus terjadi.  Sementara itu, upaya untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai  sacral ini belum dilakukan secara sistematis (mungkin juga belum sempat terpikirkan).

Pemerintah daerah yang paling besar peran dan kewenanganya itu, tak mampu berbuat banyak. Justeru sebaliknya, pada aspec tertentu, menggeserkan dan melemahkan nilai-nilai tersebut. Wakil rakyat (DPRD)  pun, sepertinya tak sudi berpikir apalagi bertindak bagi keselamatan nilai-nilai sacral itu.  Singkatnya, kebijakan public sejauh ini tidak berpihak bagi pelestarian nilai-nilai budaya dan adat istiadat Tanimbar. Celakanya, pada saat yang sama  Tokoh masyarakat, Pemuda, bahkan Tokoh Adat, kehilangan energy.
Banyak jiwa yang tetap berharap, nilai-nilai budaya dan adat istiadat Tanimbar tetap lestari dan menjadi           icon daerah ini. Semoga saja, harapan ini  direstui oleh para leluhur dan dikabulkan oleh Tuhan; Sang Duan Agung.
Tanimbar, Desember 2011

EKPLOITASI HUTAN DI PULAU YAMDENA KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT; Suatu Kebijakan Yang Prematur

Posted on September 23, 2009 | Ametelling   

Pertama, Peristiwa pembalakan hutan secara besar-besaran oleh masyarakat Yamdena patut disesalkan. Masyarakat Adat di Pulau Yamdenapun menyadari akan kekeliruannya dalam hal pengelolaan Hutan Adat / Petuanan Adatnya. Namun apakah dengan mengundang Perusahan HPH adalah suatu alternatif solusi yang tepat untuk menekan lajunya kerusakan hutan ataupun adalah tindakan yang tepat untuk menghentikan pembalakan liar..?  Apakah upaya yang telah diklakukan Pemda lewat Dinas-Badan terkait sudah maksimal..? Apakah sudah dicari alternatif solusi terhadap sistem pertanian masyarakat (ladang berpindah)..?  Apakah dengan kebijakan penertiban alat Senso, memperketat proses adminitrasi dan perizinan, dan Swiping Kayu di Pos-Pos Kehutanan, sudah merupakan upaya yang maksimal untuk menekan dan menghentikan pembalakan liar itu..?  Apakah sudah dibuat regulasi untuk mengendalikan dan mecegah aktivitas yang berdampak bagi pengrusakan hutan..?
Ataukah sebaliknya, semua itu hanya merupakan trick untuk memuluskan masuknya Perusahan HPH di Yamdena..?
Kedua, melirik kembali ke belakang, ternyata hadirnya Perusahan HPH di era thn.90-an sama sekali tidak membantu masyarakat untuk keluar dari persoalan ekonominya. Janji-janji manis Perusahan tak satupun terpenuhi sampai mereka (perusahan HPH) angkat kaki. Realitas itu bisa kita saksikan dengan menelusuri lebih jauh kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Desa Bomaki, salah satu Desa yang dahulu menjadi Bese Camp Perusahan HPH.
Apalah artinya peningkatan yang luar biasa terhadap PAD dan ekonomi kerakyatan, bila ancaman ekologi yang ditimbulkan di kemudian hari jauh lebih besar dan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat di Pulau Yamdena..?
Apalah artinya peningkatan yang luar biasa terhadap PAD dan ekonomi kerakyatan, bila kebijakan ini dikemudian hari akan menimbulkan masalah sosial, kemasyarakatan, budaya, lingkungan hidup dan ketertiban-keamanan ketika diimplementasikan..?
Bukankah kita akan membutuhkan dana yang jauh lebih besar untuk melakukan pemulihan-pemulihan apabila terjadi kerusakan ekologi, bencana alam maupun bencana sosial sebagai dampak eksploitasi Hutan Yamdena ..?
Dan apakah sebanyak 20% (Keterangan Bupati MTB dalam pertemuan dengan Tokoh Adat, Agama, OKP dan Pejabat Pemkab.MTB) dari keuntungan bagi/menjadi hak Desa, adilkah itu ?
Dengan maksud apapun, mengundang hadirnya HPH sebagai alternatif solusi terhadap pencegahan pembalakan/penebangan liar, kerusakan hutan, bahkan demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah kebijakan yang keliru, dan tak dapat diterima..!
Kebijakan Pemkab.MTB dan Pemprov.Maluku memberikan Rekomendasi (izin prinsip) bagi PT. Karya Jaya Berdikari untuk mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu (IUPHK) dari Menteri Kehutanan RI adalah suatu kebijakan yang ‘Prematur”; sangat tergesa-gesa, tanpa pikir panjang, putus asa dan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat. Kebijakan ini hanya akan menghasilkan embrio KONFLIK di semua level sosial.
Kenapa..? Kebijakan ini di kemudian hari hanya akan memicu konfik (horisontal) antar masyarakat adat, dan bahkan lebih tragis dari itu, konflik (vertikal) antara Masyarakat Adat dengan Negara. Singkatnya, ruang konflik sangat terbuka lebar. Itukah yang diinginkan oleh Negara teristimewa Pemerintah Kabupaten MTB ?

MTB Kabupaten Impian;

Catatan Kepada Para Pemimpi..!

Posted on  September 2, 2009 | Ametelling 

Tragis…. !  Di tanah ini terdapat puluhan ribu manusia yang sedang bermimpi, terbuai dalam mimpi, dipaksa untuk terus bermimpi dan berharap mimpi menjadi kenyataan. Itulah impian yang ingin diraih oleh para Elite Masyarakat di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB); Masyarakat Tanimbar; Masyarakat Bumi Duan-Lolat.

Para Elite yang berkuasa, ternyata hanya pandai bermimpi. Bagaikan Peramal, mereka terus-menerus menceritakan mimpi-mimpinya, merealise iklan, membuat propaganda, menebar janji dan terus-menerus mengadu mimpi dan kenyataan.

Betapa aduhai alam mimpi ciptaanya itu dirasionalisasikan. Menggoda setiap tanyangan iklannya. Menyakinkan semua propagandanya, dan begitu menggiurkan janji-janjinya. Namun menyedihkan, karena hanya ada di ranah mimpi. 

Bahtera Yang Nyaman janjinya itu hanya sebuah mimpi, yang terus-menerus ditayangkan sebagai iklan, selalu menjadi tema propaganda, dan tak lebih dari sebuah janji yang hanya tinggal janji. Dan, Bahtera yang Nyaman itu tak pernah kunjung tampak bayanganya. 

Lupakan saja mimpimu, Hai para Pemimpi…. !
Jangan paksakan mimpi-mimpimu menjadi kenyataan.
Karena bagaikan iklan, hanya isapan jempol belaka.
Bagaikan propaganda, hanya sebuah teriakan hampa.
Bagaikan tekad, ternyata hanya tinggal janji, dan mimpimu takan pernah menjadi kenyataan.
Jangan paksa rakyatmu, untuk terus bermimpi bersamamu.
Jangan paksa rakyatmu, untuk terus terbuai menyaksikan tanyangan iklanmu.
Jangan paksa rakyatmu, untuk terus bertepuk-tangan menyoraki propagandamu.
Jangan paksa rakyatmu, untuk terus panas-dingin menanti terwujudnya janji-janjimu.
Dan, Jangan paksa rakyatmu untuk menghadiri pesta pernikahan, antara Saudaramu Si Mimpi dengan Saudariku Si Kenyataan.

Omong Kosong….! Mimpi tetap saja Mimpi; Kenyataan, tetap Kenyataan….!
Kalau kau punya hati, kasihanilah mereka yang terus-menerus terjebak dengan mimpi-mimpimu. Mereka yang hidup terbuai dalam mimpi, dan teruuuusss mendabakan mimpimu itu, menjadi kenyataan.
Hai Saudara-Saudariku yang tidak sedang bermimpi….
Tolonglah saudara-saudarimu. Bangunkanlah mereka dari alam mimpi. Kasihanilah mereka…! Karena mereka belum sadar, bahwa ternyata mereka yang miskin, bodoh, lemah dan tak berdaya itu, lagi mengembara di alam mimpi.

Dan bagi para Pemimpi……….
Nikmatilah mimpi-mimpimu. Jangan biarkan siapapun menggerogoti mimpimu. Teruslah bermimpi dan bermimpi lagi. Semoga saja mimpimu selalu indah, walaupun takkan pernah menjadi nyata.
Bermimpilah……! Mari Bermimpi….
Impian kita, semoga saja mimpi-mimpi menjadi kenyataan.
Selamat Bermimpi…!